Elegi Paman Yosie - Dani Alifian


Seperti halnya usia, waktu dan kematian, cerita ini akan menyisakan pertanyaan. Misalnya, siapa tokoh utama, kapan kejadian itu berlangsung, dan lain-lain. Konsep ruang dan waktu sebenarnya tidak saling berhubungan. Peduli setan, bagi siapapun yang seringkali menghubung-hubungkan. Hari ini, tidak semua orang yang ada di satu ruang merasakan waktu yang sama. Atau sebaliknya, di waktu yang sama ruang terkadang berbeda. Pembaca yang berbahagia, kita agaknya harus mengikuti seluruh rangkaian cerita ini. Soal pembukanya membingungkan itu urusan belakang. Kita kadang bingung, apa bedanya cerpen dan esai, apa beda puisi dan cerpen, dan seterusnya. Batasan-batasan itu juga terjadi pada konsep ruang dan waktu. Apa batasannya? Apakah saling berhubungan atau sebenarnya tidak sama sekali? 

Cerita ini, yang akan kalian baca dengan tokoh Aku dan Paman Yosie, tidak jelas berbentuk apa. Esaikah, cerpen kah, atau apapun itu. Oh iya kau mungkin lupa, aku sudah menyebutnya cerita, jadi ini cerita. Tapi itu kataku, walaupun katamu berbeda, terserah saja. Aku adalah keponakan paman Yosie, saudara ayah kandungku. Paman Yos, begitu aku biasa memanggilnya. Dia anak ketiga dalam keluarga ayahku, si egois yang punya seribu satu cara untuk bertahan hidup. Ayahku pernah bertanya sekali pada paman Yos, mengapa di memilih jadi penulis, padahal masih banyak profesi lain yang akan membuatnya kaya seperti yang diharapkan kakek.

Namaku, Alber, tapi tanpa Einstein atau Frankenstein. Alber saja tanpa huruf T. Saat orang-orang memanggilku, mereka biasanya kedinginan, brrr, seperti gigil dalam taksa. Aku teringat saat itu, ketika masih berusia tiga belas tahun, usia yang ganjil, waktu yang belum tepat untuk mengingat seluruhnya. Aku mengingat jawaban paman Yos saat ditanya ayahku perkara dunia yang telah dipilihnya. Kira-kira beginilah jawabannya, “menulis itu seperti bisa ular, Kak, dan dia telah menjalar ke seluruh tubuhku.” Ular, hewan yang sangat disayang oleh paman Yos, bertahun-tahun setelahnya saat aku sudah bisa mengerti dan mengingat percakapan orang-orang di sekitar, paman Yos menyebutkan bahwa ular adalah jelmaan iblis.

“Ini pisang, untukmu Austin, jangan  lupa makan pisang setiap hari agar kelak kau masuk surga,” begitu kata paman Yos suatu waktu. 

Ungkapan paman Yos membuatku bertanya-tanya tentang ular, pisang, dan surga. Benarkah ular yang katanya iblis itu telah mengusir Adam dan Eva dari surga? Tapi mengapa yang paman Yosie sebut justru pisang bukan apel? Atau jangan-jangan memang pisang. Aku teringat teori evolusi Darwin, ya Darwin yang kita tahu sebagai seorang ahli teori evolusi. 

Manusia dari kera, kera berevolusi jadi manusia, demikianlah. 

Aku tidak heran, kera kadang-kadang seperti manusia, sebaliknya manusia terkadang jauh lebih tidak asik dari kera. Kera suka pisang, manusia menjadikan pisang sebagai buah, manusia juga makan pisang, begitu pun dengan kera. Jadi aku bingung sebenarnya siapa yang menciptakan manusia, Tuhan, atau kera, atau teori? Ketika usiaku menjelang dewasa, kami berbincangpaman Yos dan aku. Apakah sebenarnya yang membuat manusia saling sulih-saling silih, saling sakit menyakiti, dan beberapa saling membunuh? Kata Paman Yos, manusia sebenarnya memiliki segenggam nafsu. Nafsu yang liar itulah ular, itulah iblis. Nafsu yang baik, itulah malaikat. Manusia bertindak sebagai pengendali. Dia bercerita, kegilaan datang dari imaji, dari pikiran yang tersesat, dan kepercayaan yang terjerembab dalam tembok ruang dan waktu.

“Setelah kamu dewasa, kamu akan dibebani berjuta-juta impian, takut gagal, takut kalau tak berhasil. Tetapi, menjadi remaja tanggung juga tak enak, hasrat rasa ingin tahunya melambung. Lebih baik, kau jadilah anak-anak selamanya,” kata paman Yos sembari membenarkan kacamata minusnya yang sudah kronis.

“Mengapa begitu paman Yos?” tanyaku sambil melihat jenggotnya yang tak tertata, tapi aku suka rambut paman yang mirip gaya Bohemian. Kelak saat aku besar, rambut itulah yang akan kutiru.

“Kau akan tahu saat kelak melewati waktu, maksudku ruang.” 

Apa pula arti jawaban itu? Sungguh membingungkan. Berbicara dengan paman Yos, seperti menari di atas padang savana yang dikelilingi api, gejolak panasnya siap menelan. Di saat yang lain, saat itu usiaku masih lima belas tahun. Di ulang tahunku yang ke-23, ia memberiku hadiah sebuah manekin jungkat-jungkit. Aku bertanya, mengapa di usia yang bukan lagi anak-anak ini dia justru membelikan mainan, dan bukan hal lain. Kata paman Yos, sesungguhnya umur, usia, dan waktu tidaklah benar-benar. Hanya ruang, dan hanya ruang saja. Di hari terakhir, pada ruang yang tercipta di imajinasiku sendiri. Berita duka, paman Yos tidak bisa ditahan ruang, dia hanya berserah pada waktu. Aku pernah bingung, membedakan mana yang ruang dan mana yang waktu. Bukankah kata paman Yos, ruang itu berbentuk, tapi ruang juga abstrak bukan. Sementara, waktu itu statis, apa benar begitu?

Masih banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin aku ajukan pada paman Yos, tetapi dia telah pergi. Kini ia hanya bisa melihatku dari rimbun awan, di antara gelap dan terik matahari, di antara tanda dan gejala alam. Seandainya aku tahu bagaimana paman Yos pergi, tapi pengarang cerita ini tidak membiarkanku untuk tahu. Dia hanya ingin mengajakmu menyaksikan pemakaman paman. Di lahan pekuburan umum, memori bercampur dengan kenangan dari paman.

Kau tahu, dia tewas dengan tragis. Tapi apa penyebabnya, kau tidak benar-benar tahu. Kau terlepas dari pranala pikiran itu. Kau jatuh di atas angin dan kakimu terjun bebas. Matamu menatap gundukan tanah yang dipasangi nisan, seolah tak percaya pada peristiwa itu. Kau berteriak dalam diam, matamu sembab di bawah langit yang telah muncul mega merah, lampu-lampu mulai menyala, dan gedung menjulang kontras dengan hamparan gundukan itu. 

Dia telah pergi, pikirmu.  Dia pergi dengan senjata tajam, tubuhnya ambruk ke lantai lima menit sebelum darah bersimbah. Tubuhmu kaku, mengingat kejadian yang seperti memantulkan fragmen dalam kaca prismatik. Nasib yang begitu buruk untuk seorang paman tercinta, pikirmu. Mengenaskan, bahkan jauh lebih buruk dari kematian tragis tikus curut di tengah jalan raya. Kau akan berteriak, namun hening malan memampatkan suara di kerongkonganmu. Suara itu menyakitkan, lengking tinggi, seperti suara lain dari dalam tubuhmu, suara makhluk tak kasat mata yang terkena kutukan, lenguhan napas yang nestapa.

Kakimu melangkah pergi, namun tanganmu menerjang ke arah udara. Kau merasakan udara lembab di sekujur tubuhmu dan teringat lagi padanya, paman yang berakhir mengenaskan. Di jalan menuju pulang, rasa takut masih menghantui. Akhirnya, kau mengenang kembali, sudahkan dia mulai mengucap kesaksian pada tubuh nabi dan Tuhan seperti yang digaungkan agama? Atau dia meninggal dalam keadaan nihil iman.

Dia mati tertusuk, mungkinkah jika aku wakilkan ucapan itu akan membawanya ke surga, tempat yang telah dijanjikan kitab suci di mana konon sungai mengalir di bawahnya, ada buah-buah bergelantungan, dan bidadari-bidadari duduk bertelekan dan damai, damai..., abadi. Tidak ada resah, pikirmu. Kau menengadah, melihat dunia di atas sana, langit nun jauh. Kau di antara. Kau tak bisa menyaksikan kesaksian ambang maut paman Yos, putus di lidah, kau terbelah, antara patuh dan jatuh dan hanya ada satu jatuh di antara kematian selanjutnya.

Semesta malam itu dingin, kau mendengar sayup-sayup di luar kenyataan. Kata dia, yang berbisik tokohnya telah dibunuh karena namanya mirip seorang penulis masyhur dan namamu mirip pemikir terkenal. Dia berpikir, tidak baik mencomot nama begitu saja tanpa izin. Tapi paman Yos, telah terkubur bersama percakapan yang mengundang banyak pertanyaan. Dia mati tidak bahagia, kata kesaksianmu mendengar sang penulis. Tapi mungkin juga dia berbahagia, karena telah terlepas dari makna ruang dan waktu. Dia terbebas dari sangkar pemikiran yang telah membatasi.

Dani Alifian, kelahiran Situbondo, 1999. Saat ini berkegiatan menjadi wartawan di beritajatim.com. Ia aktif menulis esai sastra dan puisi di beberapa media. Ia adalah peraih juara 2 Festival Puisi Mahasiswa Nasional HMJ Universitas Negeri Malang; dan juara favorit Lomba Cipta Puisi Nasional Festival Seni Budaya dan Sastra Universitas Brawijaya Malang. Kenali penulis lebih lanjut melalui akun Instagram miliknya, @dani_alifian.

Posting Komentar

0 Komentar