Masalah Sepi
Kopi kaki gajah dinikmati pasca mentari menangis
Hujan yang katanya air—kenapa menghujamkan sepi layaknya jarum?
Menyepi di tengah keramaian; di sudut kafe, menulis puisi—mencoba menjadi
melankolis
Kumengutuk sepi, mencibir keriuhan—Herr Bruno dengan masalah Yahudinya dan
aku dengan kultum kesunyian.
Sabda Cioran sedang kukumandangkan—kita akan membusuk, kita akan terurai,
tercabik, terkoyak—itu pekerjaan cacing sebenarnya.
O: Alat perawatan tubuh takkan berguna menghenti gigitan cacing tanah.
Lantas,
Mengapa kita takut mati? Ah—kita belum puas di dunia?
Kita—sekali lagi—hanya takut dilupakan.
Di-lupa-kan tidak seseram se-pi semasa hidup. Tetapi, kumenemukan, sesuatu yang paling dikhawatirkan.
: Iya, betul!
Di-lupa-kan & se-pi
Kau-aku akan dikubur dalam perut bumi tuk dilupakan & sepi paling hebat
menemanimu di tengah ramainya orang yang menguburmu.
O: jangan takut di-lupa-kan & ke-sepi-an.
Mereka ada di pundakmu.
(2022)
Dua Tiga
Satu-dua-tiga
Dua-empat dikurang satu sama dengan dua-tiga
Dua-dua ditambah satu sama dengan dua-tiga
Satu-dua-tiga
: Untuk orang dengan umur dua-tiga, aku tidak punya nasihat untukmu.
Kegelisahan fana dan masalah percintaan yang menguras tenaga.
Tentu—jika aku tidak salah, kau masih harus memikul beban ekspektasi
keluargamu.
Keliru—jangan ikuti seluruh ekspektasi keluarga, niscaya kau mati perlahan
tanpa suara.
Ku-tak menasihati, ku-hanya berpesan.
Mungkin kita hidup sampai usia enam-puluh.
Lantas—mengapa mengherankan hidup, ia cukup dijalani. Tak perlu diherankan.
Bentuk otentisitas—walau di ujung petang kau misuh-misuh.
Kita fana—rusak ditelan waktu—batas usia enam-puluh.
Waktu yang sedikit 'tuk merenungkan ekspektasi—jangan direnungkan, ayo
misuh-misuh.
(2022)
Safira
O
Safira—SMP adalah masa kita pernah bersama
Cinta monyet yang membuat pipi kemerahan—tersipu malu kala berpapasan
Aneh—dahulu ada istilah TTM. Jujur, ku tak mengerti dan tak
kuasa
Menatapmu membuatku terhipnotis pesona menawan
Meski, tak berselang lama—kita berpisah.
O: sekali lagi aku patah hati.
Era Post-Truth meromantisisasi Gold Digger
Katanya cinta harus realistis, katanya cinta harus objektif.
Perlahan aku bergeser dan tersentak mendengar cinta yang dinilai dari
nominal—kakiku gemetar.
Jika cinta harus objektif—bukankah objektif berasal dari
pengakuan kolektif?
Cinta—urusan kau dan aku, mengapa jadi urusan mereka?
Tidakkah kita layak cinta-mencintai tanpa batasan kolektif Post-Truth.
Persetan—ku ingin mencintaimu selayaknya anak kecil mencintai gula-gula.
Sekali lagi, menjamah cinta monyet—melarikan diri dari guliran batu sisifus.
Safira, masihkah kau ingat itu?
(2022)
Pluto
Aku dan kau—dan menjelma jarak antara matahari dan pluto.
Kata rindu terpisah antara Pontianak-Jakarta
Aku dan kau—tiada lagi berpapasan dalam realita, kenangan kita dilupakan
layaknya pluto.
Kita dibayangi langit yang sama; oksigen yang sama; cahaya yang sama.
Demi langit dan bumi, mengapa kita dipertemukan lalu dipisahkan?
Cioran—manusia akan membusuk, dan benarkah kita sudah membusuk?
Bau menyengat; dari kita yang membusuk, menyeret aku dan kau terpisah jauh di dalam kosmos kerinduan.
Benarkah kata selamanya adalah kenangan dan bukan kita?
Ah: baunya busuk.
Kumanifestaikan pluto selayaknya makam kenangan
Pluto bukan untukku—ia untuk semua orang yang terikat kenangan
masa lalu
Pluto yang jauh, yang dingin, yang gelap, yang penuh ketenangan.
Biarkan daku membusuk bersama raga yang pernah kau genggam, dahulu.
Biarkan kenangan abadi mengapung bersama pluto di kosmos
kenangan.
Menangislah, merdekalah—titipkan kenangan pada pluto tersayang.
(2022)
Kenali Angga Pratama lebih lanjut melalui Instagram miliknya, @fxaverius_
0 Komentar