Kasidah Cinta yang Sia-sia
Sudah
kupertaruhkan,
atau
kuikrarkan dalam keheningan
pagi
yang cemburu. Kehadiran
cinta
yang menganga dalam
takdir
matahari pagi ini
membeku,
membentuk suara angin
di
belantara kaki yang
berjalan
di awal pagi
yang
cemburu, angin menodongkan
pedang
kehampaan: Alangkah melukainya
tikaman
cinta. Betapa dingin
dan
bekunya kemungkinan. Debu
dan
napas yang terengah-
engah.
Cinta ini sendiri
di
tengah kehidupan yang
ramai.
Cinta mencekik
lehernya.
Cinta menabur
garam
di antara hujan
bisu.
Cinta terkapar di bumi,
dan
kematian bersandar di
pundaknya.
Namun, aku ingin
terus
mempertaruhkan cinta yang
kuambil
dalam keheningan takdir
pagi—agar mengobati busuk
jantungku, duhai cinta yang
berujung
sia-sia.
(Ciputat, 2022)
Kasidah Bianglala
Kami
bianglala merona
sepanjang
sore yang hening.
Boleh
jadi, kami akan binasa
tapi
warna hidup dan cinta kami
memesona
serta luar biasa.
Berjuta-juta
cahaya yang pudar menyaksikan bianglala.
Kami
menggeliat ke kehidupan
fana,
tubuh kami menggelinjang
di
semprot kata-kata, tapi kami
tetap
bianglala.
Kami
bianglala telanjang
ke
bukit nirwana.
Kami
bianglala jempalitan
ke
mana-mana.
Kami
bianglala yang redup
saat
malam menusukkan gelapnya.
Boleh
jadi, kami redup
hanya
sekedar membuka cahaya
tapi
hidup dan cinta kami
bianglala.
O,
bianglala.
O,
nyanyian penuh warna.
Kami
bianglala punya cinta
dan
seperangkat masa lalu, serta
cita-cita.
Akankah
kita
saksikan
bianglala
merekah sepanjang masa
hidup dunia?
(Ciputat, 2022)
Ahmad Rizki, menggelandang di Ciputat, Tangerang Selatan. Beberapa puisi omong kosongnya telah termaktub di media daring. Buku puisi yang terlanjur terbit adalah Sisa-Sisa Kesemrawutan (2021). Informasi tambahan dapat ditemukan melalui akun Instagram miliknya, @ah_rzkii, dan surel ahrizki048@gmail.com
0 Komentar