Cerpen Amarah Iramani: Hari yang Patah, Bulan yang Kotor, dan Seikat Pertanyaan tentang Bagaimana Besok

 

Bulan menampakkan merahnya yang kotor dan redup dan kota menjadi terasa begitu panas. Hari itu pukul 00.00 WIB, muka-muka toko teramat pucat dan kesunyian itu berusaha mengusik kegamangan dalam kepalanya. Ia hanya merasa pikirannya sedang kosong saat ini. Tak terasa dia telah sampai, hampir satu jam waktu mengayun. Kota sudah menjadi sepi dan orang-orang sudah rebah memejamkan mata. Tanpa disadari, sepeda motornya melaju dengan cepat melewati barisan muka toko yang pucat tadi. Tak ada obituari, yang lalu lalang membalikkan arah angin dan meninggalkan ingatan panjang. Tak ada pesan apa pun dalam kepalanya. Mungkin juga karena ia memang tidak ingin mengingat semua itu. Sepeda motornya masih hangat dan ia belum beranjak. Lima menit ia menunggu, dengan tanpa menurunkan standar motornya. Ia mengambil ponsel dari dalam salah satu saku celananya, lalu memberi pesan, "Aku sudah sampai."

Tak lama dari atas lantai dua, seorang perempuan menjulurkan kepalanya lewat jendela, memberi isyarat agar si laki-laki itu memutar masuk melalui pintu kedua, melewati lorong yang agak sempit dan gelap. Entah, apa yang terjadi dengan pintu pertama. Mungkin ada alasan yang kuat yang bikin pintu pertama tidak menjadi sebuah pilihan. Banyak kemungkinan di sana, biasanya meliputi perasaan yang buruk. 

Lalu, sebuah balasan pesan masuk ke dalam ponselnya, "Jangan tinggalkan apa pun di bawah. Termasuk sepatumu. Hati-hati di jalan!" Kalimat dalam pesan tersebut mungkin aneh. Padahal, jarak ketika laki-laki itu berdiri tak sampai empat puluh lima langkah menuju kamarnya. Tampaknya, kekhawatiran selalu datang, selalu menjadi sebuah perasaan yang buruk.

Kata-kata beranak-pinak dengan cepat secara tidak karuan. Dan waktu tak ada bedanya dengan celotehan burung beo di pagi hari. Bermakna menghibur dan berulang: sebagai pengingat. Hanya sebagai pengingat, itu saja. Apakah itu dibutuhkan dalam kehidupan yang besar ini? Teramat besar, dengan pikiran manusia yang selalu tak dapat dimengerti?

Anak tangga yang terbuat dari kayu jati itu berderit saat tiap langkahnya memijak. Persis seperti suara kipas angin yang putarannya sekarat, yang terdengar dari dalam kamarnya (si perempuan itu). Ia sampai di atas, di lantai dua. Siluet dari tubuh perempuan itu menampakan kerinduan dalam kepalanya. Dari balik tirai gorden kaki kanannya keluar, tangan kirinya mengambil sesuatu dari tumpukan pakaian dalam keranjang yang belum terlipat. 

"Kau jangan masuk dulu," ujarnya dengan lirih. 

Perempuan itu mengambil sebuah kutang di atas daster bercorak bunga-bunga dengan perpaduan warna merah, biru, putih, dan hijau kemudaan. Daster itu selalu terlihat lecek dan belum disetrika. Sebenarnya, tak ada yang peduli dengan itu, termasuk norma-norma yang diatur masyarakat. Seperti yang ada dalam benak laki-laki itu. 

"Terlebih seorang presiden sekalipun, pasti hanya akan melambaikan tangannya dengan senyuman penuh kepalsuan. Jangankan dalam urusan daster dan kutang, kesejahteraan rakyatnya saja hanya dilambangkan sebagai sebuah lambaian tangan sambil senyum-senyum mesem menjengkelkan dari dalam mobilnya".

Kemudian, perempuan itu keluar, memberikan pelukan panjang seperti yang tersirat dalam kepalanya—sebuah kerinduan yang hampir terlewatkan beberapa menit usai salah satu stasiun TV mengabarkan adegan aksi kejar-kejaran antara polisi dan bandar ganja yang lari sambil senyum-senyum mesem seperti presiden tadi. TV yang malang, yang selalu dibiarkan menyala sendirian di ruang tamu.

"Kecantikanmu melukai bedak-bedak itu. Jika boleh bilang, aku lebih senang melihatmu telanjang begini. Tetapi, apapun yang ingin kau lakukan untuk itu, bukan berarti menjadi urusanku. Kau bebas memilih kebahagiaan dalam bungkus manapun," ujar laki-laki itu sembari mengelus rambutnya yang sebahu.

"Baiklah, dari mana kita akan memulainya?" si perempuan kemudian menariknya masuk ke dalam kamar yang pengap dengan bau rokok yang menyengat.

Sebuah buku puisi terlihat terbuka tergeletak di bawah lantai dan laki-laki itu mengambil selembar kertas yang terselip di dalamnya, di sela-sela halaman 74-75. Perempuan itu bersandar meminta si laki-laki membacakannya.

Puisi Kita (dengan judul yang buram terkena noda air, puisi yang sangat begitu aneh)

 

Apa?

Apa lagi?

Apa hari ini?

Jalan Jalan?

Bayangan Waktu?

Buru!

Apalagi Mas?

Waktu?

Ayo kita bikin puisi!

Puisi yang diciptakan?

Oleh kita?

Gitu loh....!?

 

Tanpa disadarinya, seekor nyamuk mati terperangkap pada sela halaman tersebut.

 

buah dadamu

dan buah dada kanvasku

bertemu dalam birahi

kata kata puisi

penaku terkapar

kehabisan tinta

alkohol menguap

jadi embun di rerumputan....

 

exquisite corpse - dalam buku kumpulan puisi Saut Situmorang, yang tergeletak tadi. Bila dilihat dari suasana dan gambaran ceritanya, langit yang gelap keabu-abuan itu dan bulan yang terang merah kotor dari balik jendela, menyiratkan sebuah kekhawatiran—tentang apa yang akan dilakukan esok hari. Sementara sampai detik ini pun, mereka hanya ada dalam pikirannya masing-masing, membuat pertanyaan dan tak mungkin rampung dengan hanya sekedar senyum-senyum mesem begitu.

"Apa yang sedang kau rasakan? Kau tampak gusar begitu." ucap si laki-laki sambil menimbang memegangi buku yang beratnya hanya mencapai perkiraan dalam pikirannya.

"78 halaman, apakah ini juga menjadi penting?" Gumamnya dalam hati.

Seperti tidak ada yang pasti. Segala sesuatu memang selalu tampak begitu.

Gadis itu terlihat sibuk dan gelisah. Membolak-balikkan kertas catatannya. Seperti sedang mencari sesuatu. 

"Nah, ketemu!", ujarnya.

"Kau tahu, aku kemarin bertemu seseorang. Sepertinya dia agak mabuk saat mengajakku berbicara. Dia bertanya tentang negara yang dipimpin para badut. Katanya, partai merah garpu sendok selalu membuat keputusan yang salah dan partai yang satunya lagi selalu disalah-salahkan. Lah.... Menurutmu, apakah definisi benar dan salah itu tepat bila keadaannya sudah begini? Bila golongan yang satu sudah bicara lewat ranah realitas sosiologis dan yang satu lagi bicara lewat ranah realitas ideologis, hah?  Akan sampai mana kebenaran bisa disimpulkan? Aneh. Dia selalu bicara kedisiplinan batin rakyat. Aku saja sudah tidak lagi percaya pada partai manapun. Memangnya dia pikir pertanyaan semacam itu akan lebih mudah dari sekedar mengisi hitam putih teka teki silang! Bodoh sekali,"

"Ditambah lagi, apakah dia tidak pernah berpikir, sejauh mana perempuan merasakan semua ini? Ingin aku menyumpal mulutnya saat itu dengan botol arak agar dia berhenti bicara,"

"Ini coba lihat gambarku, manis bukan? Ah tapi aku sedikit tidak suka dengan garis bunga di luarnya itu. Bagaimana menurutmu? Apa aku mesti menambahkan satu tangkai lagi agar si perempuannya terkesan semakin berduka?" Sambungnya dengan tersenyum.

Laki-laki itu rebah dan sedikit mengabaikan. Ia melihat ke arah langit-langit yang bercorak noda rembesan air hujan. Tampak seperti kertas puisi tadi. 

"Menurutku, orang yang bicara denganmu yang kau duga agak mabuk itu memang dangkal. Dia tidak menjadi murni dalam kepalanya. Apakah dia seorang yang berkepala botak dengan tinggi 175cm? Apakah aku juga mengenalinya? Ia persis seperti orang yang kukenal dan sering membual di trotoar jalan. Aku yakin, hari-harinya hanya diisi dengan kekhawatiran. Suara-suara dalam layar TV telah menyulitkannya berpikir. Dia tak mengerti dunianya yang besar ini hanya diisi dengan begitu banyak omong kosong. Bukannya begitu?" Laki-laki itu bangkit dan menyalakan sebatang rokok, bersandar ke perempuan itu dan memberikan senyuman untuk karyanya.

"Berapa waktu yang kita punya?" Tanya laki-laki itu.

Bunga-bunga mengering dalam vas bekas botol arak macan. Bianglala di matanya berhenti berputar. Hamparan karpet merah menggenangi bayangannya. Tikus got pengerat sampah, kepala barbie dengan rambut kusut, tumpukan buku sastra klasik dan nyamuk yang bingung. Berdengung tak henti-henti membayangi pikirannya. Bagaimana dengan hari besok? Laki-laki itu mengais jawabannya sendiri dengan membiarkan rokoknya mati di dalam asbak.

Jika kerinduan itu terbayangkan, bagaimana dengan pertemuan? Itu selalu menjadi bentuk yang berbeda. Alangkah baiknya, sebaik-baiknya hal baik tidak dalam ukuran statistik. Memuji sesuatu yang telah berlalu sama saja dengan keputusan buang-buang waktu. Tapi, bukankah dalam kepala laki-laki tersebut waktu telah habis? Kemudian, si perempuan berambut sebahu itu rebah di atasnya, memeluk erat. Erat sekali. Dia bilang, kerinduannya tak tertolong. Alangkah baiknya, sebaik-baiknya hal yang tak menjadi baik bukan urusan mereka. Itu yang ada dalam benaknya, si laki-laki itu. 

"Ah sayang, apakah matahari akan cepat membakar mata kita? Berapa waktu lagi yang masih tersisa?" Tanya perempuan itu.

Tetapi, waktu seolah-olah benar-benar berhenti ketika perempuan itu masuk ke dalam tubuh si laki-laki. Mereka menjadi satu, bibir mereka bertemu dalam muara yang sama, saling bertaut dan bulan semakin menjadi merah kotor dan panas. Membuat tubuh mereka dibanjiri keringat.

Namun seketika, terlintas pertanyaan dalam benak laki-laki itu. Kira-kira, kapan selembar kertas itu masuk ke dalam buku dan menyisakan sepotong kepala nyamuk yang terantuk dan tak lagi peduli dengan hari esok? Keduanya hanya memberi senyuman dan mereka mematikan lampu.

 

15 Agustus 2022

 

AMARAH IRAMANI, penulis buku kumpulan puisi, Siasat dan Tiga Puluh Tiga Puisi Putus Asa (Langgam Pustaka 2020). Cerpen dan esainya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online. Bisa dihubungi melalui instagram: @uroborus_______ atau surel: amarahiramani@gmail.com.


Posting Komentar

0 Komentar