Hari-hari ini, kita sering disuguhkan sebuah kenyataan tentang hal-hal instan. Suatu hal yang melulu berorientasi pada tujuan, seperti tujuan menjadi kaya dengan cepat, menjadi pintar dengan kilat, menjadi ganteng/cantik/kurus/gemuk/ dengan sekilas, dan hal-hal terburu-buru lainnya. Berbagai fakta tentang upaya mencapai suatu tujuan dengan instan tersebut menjadikan beberapa kalangan terjebak pada sebuah tindakan yang tidak jujur dan kriminal. Akhirnya, terkuaklah sebuah penipuan trading, sabun atau kosmetik palsu yang membahayakan kulit, obat diet yang tidak sehat dan menjadikan penggunanya tumbang tak berdaya, dan lain sejenisnya.
Rasa-rasanya, masalah-masalah ini berakar dari sebuah mentalitas instan, tanpa mau merasakan keindahan berproses menuju tujuan yang sudah dirancang sejak awal. Freire (2019) menekankan sebuah proses sebagai bagian dari pendidikan. Dengan berproses, maka berbagai pengalaman menjelajahi jalan mencapai tujuan akan lebih terasa. Apakah seorang sarjana lantas dinyatakan menjadi seorang sarjana hanya karena mengerjakan satu tugas yang disebut skripsi saja? Tentu tidak. Sebelum mencapai tahap mengerjakan skripsi, seorang sarjana harus melalui terlebih dahulu tugas-tugas setiap mata kuliah, mengikuti pembelajaran di kelas dengan kondisi bermacam-macam: kadang bersemangat, kadang loyo, kadang mengantuk, tidak jarang juga sampai tidur di kelas karena malamnya begadang mengerjakan tugas kuliah. Selain itu, seorang sarjana juga masih harus mengerjakan tugas kelompok, membangun kerja sama bersama teman satu kelompok, melakukan presentasi di kelas, dimarahi dosen, diphpin dosen, diputusin pacar karena terlalu mementingkan kuliah, dsb.
Namun, itulah sebuah proses menjadi seorang sarjana. Dari situ pulalah kredibilitas seorang sarjana didapat, yaitu dari seluruh pengalamannya berkuliah, mengerjakan tugas bersama segala dramanya, hingga akhirnya menyusun skripsi dan diwisuda. Tentu sarjana yang melalui proses-proses panjang dan menggetirkan dengan segala pengalamannya akan berbeda dengan sarjana dagelan yang hanya membeli ijazah dan tinggal wisuda saja. Di sinilah pentingnya proses sebagai sebuah pendidikan dan pendidikan sebagai sebuah proses.
Membuat dan memiliki tujuan besar bukan berarti harus terburu-buru mencapai tujuan itu yang akhirnya memicu tindakan-tindakan terlarang. Biarlah tujuan tercipta, tapi proses harus dinikmati sebagai lintasan yang akan membentuk mental, pengetahuan, dan kesadaran kita matang untuk benar-benar sampai pada tujuan yang kita tuju.
Barangkali, pada momen menikmati proses inilah hal yang perlu kita pelajari dari anime One Piece. Sebuah anime popular dari tahun 90-an hingga hari ini, 2022. Anime yang berkisah tentang petualangan seorang bajak laut bernama Luffy bersama nakamanya (temannya) berburu harta karun legendaris, yaitu One Piece. Selama proses petualangan berlangsung, Luffy dan para nakamanyamenghadapi banyak rintangan, musuh, pertempuran, dan ketegangan yang selalu nyaris membahayakan nyawa. Prosesnya begitu berat, Luffy terus bertemu lawan-lawan kuat, baik dari pihak sesama bajak laut maupun pihak pemerintah dunia dan Angkatan laut. Namun, Luffy dan para nakamanya justru menikmati perjalanan itu. Perjalanan yang sebenarnya tidak ada peta khusus di mana letak One Piece berada. Perjalanan yang menurut beberapa orang sia-sia, karena mencari sesuatu yang petunjuk khususnya saja tidak ada. Sesuatu yang oleh beberapa orang hanya dianggap legenda.
Akan tetapi, suatu ketika kelompok bajak laut Luffy bertemu dengan seorang tokoh bernama Reylight. Reylight ini merupakan seorang mantan bajak laut paling ditakuti dan termasyhur di generasi sebelumnya, yaitu kelompok bajak laut Gold D Roger, sekelompok bajak laut yang pernah menemukan One Piece dan meletakkan One Piece di suatu tempat tersembunyi. Singkat cerita, karena kelompok bajak laut Luffy telah berproses dan menjadi akrab serta bersahabat baik dengan Reylight, maka di suatu momen, Reylight menawarkan sebuah informasi brilian dan berharga kepada kelompok bajak laut Luffy. Informasi itu adalah lokasi pasti dari harta karun One Piece.
Tentu kru kelompok bajak laut Luffy senang dan menggebu-gebu untuk mendengar informasi itu. Semua memasang wajah harapan besar untuk bisa segera mengetahui letak dari harta karun One Piece yang selama ini mereka cari. Hingga pada akhirnya… Reylight berusaha mulai menjelaskan, tapi seketika itu Luffy berteriak melarang… (kurang lebih inti dialognya seperti ini dengan sedikit parafrasa sesuai ingatan penulis).
Luffy: Hentikaaaaaaaan, Reylight. Jika kau melanjutkan niat dan perkataanmu, maka akan kuhabisi kau.
Reylight tersenyum dan berkata, “sudah kuduga”.
Seketika suasana hening dan para kru Luffy kebingungan dan keheranan. Mengapa Luffy tidak mau mendengar sebuah informasi yang bahkan informasi itu adalah sebuah informasi yang diinginkan oleh seluruh bajak laut di dunia?
Luffy: Kalian semua (para nakamanya), dengarkan!!! Aku tidak pernah ingin dan berniat sedikitpun untuk tau dengan mudah di mana letak One Piece itu. Biarkan kita berjalan mencarinya dengan cara kita dan proses kita sendiri. Aku tidak akan membiarkan Reylight menghancurkan segala proses yang sudah kita lalui sejauh ini dengan informasi itu. Biarkan kita bebas dan bertualang serta berproses mencapai tujuan kita dengan cara kita sendiri.
Kurang lebih demikianlah sepenggal dialog emosional Luffy dan krunya menanggapi Reylight yang ingin memberi jalan pintas menuju One Piece. Hanya saja bagi Luffy, keseruannya bukan di situ. Luffy dan para krunya, yaitu kelompok bajak laut Topi Jerami, tidak ingin mencapai suatu tujuan dengan cara yang remeh-temeh dan dangkal semacam itu. Mereka mengedepankan proses, pengalaman dari berpetualang, hidup saling berjuang bersama teman, dan bertemu tempat berbeda untuk mencapai sebuah tujuan akhir yang klimaks, membanggakan, dan lebih esensial. Inilah ruh pendidikan sebagai proses yang harus kita perhitungkan dan terapkan di hari-hari ini. Hari yang semakin mengedepankan hal-hal instan, praktis, tapi kering makna. Untuk apa sih buru-buru? Apa sih yang diburu? Bukankah jika kita terlalu terburu-buru, maka kita akan melewatkan banyak hal. Apa itu yang kita mau? Tentu tidak. Maka, mari nikmati proses sebagai bagian dari pendidikan menuju pendewasaan diri.
Referensi
Freire, P. (2019). Pendidikan Kaum Tertindas. Narasi.
0 Komentar