Tidak Mencuci Gelas
aku memikirkan berahi
tapi sejak tadi kepalaku menerima wahyu di kamar mandi
“ilham-ilham baru, wanita-wanita jatuh hati”
seharusnya aku menulis itu
tapi hati ini tidak pernah mampu
padahal kau pernah berbincang dengannya
menyarankan sebotol arak baru aroma bambu
“tidak, aku tidak mau,” ucapnya
kau selalu berselera babu
dan telingaku di masa lalu
“kau sendiri yang bersaksi,
berjanji bersama sang patih menyatukan negeri ini.”
tapi ucapan itu hanya membekas di bibir
tak pernah terdengar dalam pelabuhan-pelabuhan negeri
karena kau tidak pergi sendiri
wanita itu menipuku,
dengan segelas arak bambu dan koin-koin perak Kampuchea
maka kukirimkan beribu batu di bawah kepalanya
menyelinap hutan dan rembitan
aku tidak sempat menerima balasnya
karena aku tidak mencuci gelas
Kepala di Bawah Ranjang
menemuimu tidak pernah mudah; aku perlu menunjukkan kartu tanda cinta
atau kesetiaan bertabur bunga-bunga
sampah di kasurmu juga perlu dibelah
darinya merayap laba-laba tanpa bejana
karena kita memang tidak pernah mudah; sesuatu menghalangi masing-masing diri untuk memulai
piring kotor yang tak dicuci lebih baik
ryan mengatakan untuk menggunakannya saja
hutan di tengah kota tak pernah berisik
karena sudah tertanam dalam pot-pot vertikal
aku menggunakan bayanganmu untuk bersembunyi dari mentari
menahan rindu dari bunga-bunga janda
monstera adansonii atau apa namanya
dan nanti kalau terjadi lagi apa yang kualami
kuharap kau baik-baik saja dan tak apa
pantai di sudut Jawa memeluk Banyuwangi
kita tak pernah tahu hingga merasakan sendiri
kehangatan itu, hanya kutemukan dalam mimpi
Tersipu Malu-Malu
:Menyambut Hari Buruh Satu Mei
hendak menyebut nama-nama pahlawan
namun wajah mereka sudah terpampang di pertigaan
kota kecil tetap menyemangati, namun harapan adalah kehilangan
pembersih tangan, sikat gigi, tisu basah dan
buku tak laku
mereka berbicara tentang teori-teori seabad lalu
berteriak di jalanan sekaligus membisu
seketika mereka ditanya dalam sorotan kamera
“aku tak tahu, aku dibayar oleh seseorang
yang mati di abad dua puluh.”
mereka juga lahir di eropa barat, menghirup napas pabrik yang berbeda
namun kini kita menghisapnya, menyedot bunga-bunga hitam dalam gumpalan penya
Abdullah Mushabbir, seorang penulis amatir. Temui saya di Instagram @diniatkan_murojaah
0 Komentar